Sunday, June 2, 2013

KONTRADIKTIF DUNIA INDUSTRI

Mendapatkan pekerjaan di Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia  ini terbilang masih sulit. Misi pengentasan kemiskinan masih belum tercapai sepenuhnya, karena banyak penduduk yang berada di sekitar garis kemiskinan, terdapat sekitar 28,59 juta penduduk miskin dan rentan miskin pada tahun 2013.
Pemerintah tidak diam untuk membuat masyarakatnya tetap hidup dengan uang halal. Pemerintah mulai menggalakkan program pelatihan kerja, bahkan sudah ada kredit peminjaman modal untuk masyarakat yang ingin membuka usaha dengan pinjaman KUR (Kredit Usaha Rakyat), tapi sangat disayangkan jika saai ini masih terdengar keluhan dari masyarakat karena persyaratan dan ketentuan peminjaman yang memberatkan.
Sekarang saja sudah banyak perusahaan asing yang didirikan di Indonesia dengan salah satu alasan upah karyawannya lebih murah dari pada di Negara lain. Padahal setiap menjelang awal tahun, para karyawan demo untuk kenaikan UMR. Kita tengok saja akhir tahun 2012 kemarin yang terkesan sangat fenomenal. Dimana, kenaikan gaji yang seharusnya dicapai dalam waktu 5 tahun ke depan, praktis di rangkum di tahun 2013 ini. Dari Rp. 1.252.000 menjadi Rp.1.720.000 ( untuk regional pasuruan). Alhasil, banyak perusahaan yang gulung tikar dengan melonjaknya upah buruh.


Tindak anarkis para buruh di saat demo kenaikan UMR bahkan di Mayday tidak terelakkan, mungkin hal tersebut merupakan salah satu bentuk pelampiasan kebosanan. Saya merakasakan betul ketika bekerja di sebuah industri. Dimana kita terkesan menjadi robot karena mengacu model “Get the Job Done” (GJD). Menjalani rutinitas monoton yang sudah di atur oleh sesama robot “pilihan”. Apa yang akan kita kerjakan, sepenuhnya sudah tertulis di SOP ( Standart Operational Procedure ), tapi ada banyak konspirasi yang di skenario oleh karyawan sendiri atas dasar kenyamanan kerja. Berdasarkan laporan America Society for Training and Development ( ASTD ), sebesar 54%, di kantor penganut GJD hanya senang pada saat gajian. Selebihnya, mereka cenderung menghindari masalah ketimbang menyelesaikannya.
Banyak konflik yang mereka ciptakan sendiri dilingkup ruang kerjanya karena apa yang mereka kerjakan tidak sinkron dengan pikiran mereka. Paradigma yang cukup ironis ketika pada kenyataannya waktu mereka lebih banyak untuk bekerja ketimbang bersosialisasi, sehingga banyak timbul prejudice and anxious terhadap sesama pekerja. Banyak pekerja yang “bermuka dua” dan timbul gap diantara mereka karena pergaulan mereka terlalu sempit, dan mengingat tidak banyak topik yang mereka bicarakan sehari-harinya dengan orang-orang yang sama setiap harinya. Topik sehari-hari pun tidak jauh dari keluarga, menu makan siang dan pergunjingan. Aroma persaingan cukup mudah terdeteksi, apalagi kalau bukan persoalan jabatan. Itulah hukum alam dalam dunia “perburuhan”, kebahagiaan mereka hanya sebatas dihari juma’at, suara hiruk pikuk terdengar santak ketika menjelang akhir pekan dan tanggal merah. Kemudian mereka kembali galau di hari Monday ( Monster Day ).