Mendapatkan pekerjaan di Negara yang sedang berkembang
seperti Indonesia ini terbilang masih
sulit. Misi pengentasan kemiskinan masih belum tercapai sepenuhnya, karena banyak
penduduk yang berada di sekitar garis kemiskinan, terdapat sekitar 28,59 juta
penduduk miskin dan rentan miskin pada tahun 2013.
Pemerintah tidak diam untuk membuat masyarakatnya tetap hidup
dengan uang halal. Pemerintah mulai menggalakkan program pelatihan kerja,
bahkan sudah ada kredit peminjaman modal untuk masyarakat yang ingin membuka
usaha dengan pinjaman KUR (Kredit Usaha Rakyat), tapi sangat disayangkan jika saai ini masih terdengar keluhan dari masyarakat karena persyaratan dan ketentuan
peminjaman yang memberatkan.
Sekarang saja sudah banyak perusahaan asing yang didirikan di Indonesia dengan salah satu alasan upah karyawannya lebih murah
dari pada di Negara lain. Padahal setiap menjelang awal tahun, para karyawan
demo untuk kenaikan UMR. Kita tengok saja akhir tahun 2012 kemarin yang
terkesan sangat fenomenal. Dimana, kenaikan gaji yang seharusnya dicapai dalam
waktu 5 tahun ke depan, praktis di rangkum di tahun 2013 ini. Dari Rp.
1.252.000 menjadi Rp.1.720.000 ( untuk regional pasuruan). Alhasil, banyak
perusahaan yang gulung tikar dengan melonjaknya upah buruh.
Tindak anarkis para buruh di saat demo kenaikan UMR bahkan
di Mayday tidak terelakkan, mungkin hal tersebut merupakan salah satu bentuk pelampiasan
kebosanan. Saya merakasakan betul ketika bekerja di sebuah industri. Dimana
kita terkesan menjadi robot karena mengacu model “Get the Job Done” (GJD).
Menjalani rutinitas monoton yang sudah di atur oleh sesama robot “pilihan”. Apa
yang akan kita kerjakan, sepenuhnya sudah tertulis di SOP ( Standart
Operational Procedure ), tapi ada banyak konspirasi yang di skenario oleh karyawan
sendiri atas dasar kenyamanan kerja. Berdasarkan laporan America Society for
Training and Development ( ASTD ), sebesar 54%, di kantor penganut GJD hanya
senang pada saat gajian. Selebihnya, mereka cenderung menghindari masalah
ketimbang menyelesaikannya.
Banyak konflik yang mereka ciptakan sendiri dilingkup ruang
kerjanya karena apa yang mereka kerjakan tidak sinkron dengan pikiran mereka.
Paradigma yang cukup ironis ketika pada kenyataannya waktu mereka lebih banyak
untuk bekerja ketimbang bersosialisasi, sehingga banyak timbul prejudice and
anxious terhadap sesama pekerja. Banyak pekerja yang “bermuka dua” dan timbul
gap diantara mereka karena pergaulan mereka terlalu sempit, dan mengingat tidak
banyak topik yang mereka bicarakan sehari-harinya dengan orang-orang yang sama
setiap harinya. Topik sehari-hari pun tidak jauh dari keluarga, menu makan
siang dan pergunjingan. Aroma persaingan cukup mudah terdeteksi, apalagi
kalau bukan persoalan jabatan. Itulah hukum alam dalam dunia “perburuhan”,
kebahagiaan mereka hanya sebatas dihari juma’at, suara hiruk pikuk terdengar santak
ketika menjelang akhir pekan dan tanggal merah. Kemudian mereka kembali galau
di hari Monday ( Monster Day ).
No comments:
Post a Comment